FOCUS GROUP DISCUSSION I “NEW TRACE DALAM AMANAH SEJARAH UNTUK MEMBANGUN BANGSA DAN NEGARA INDONESIA”

·         Pembicara pertama: Prof. Dr. Taufik Abdullah

Assalamualaikum Wr. Wb     
Karya ilmiah tidak selamanya memakai judul yang “seram-seram”,  kadang-kadang bisa juga tampil dengan judul yang terasa agak “aneh” juga. Bahwa setiap karya ilmiah  mempunyai judul sesuai dengan topic  utama yang ingin disampaikan tentu hal yang biasa saja, jadi tidak perlu dipersoalkan. Tetapi bagaimana kalau judul yang dipakai itu adalah sepenggal ucapan seseorang? Hal inilah yang terjadi  dengan sebuah buku tentang teori sejarah. Buku yang  ditulis oleh David Loventhal  dengan enteng saja memakai setengah kalimat dari ucapan L.P.Loventhal,  “The Past  is a foreign country” , sebagai judul bukunya ( Cambridge University Press, 1985 ). Barulah dalam Introduction –nya sang penulis ini  melanjutkan kalimat yang terpotong itu -- “ they do things differently there.”
 Memang kalau dipikir-pikir setiap kali kata “masa lalu” disebut kita biasa saja memahaminya sebagai  rangkaian kejadian yang tanpa henti telah pernah terjadi. Jadi masuk akal kalau buku yang mengulas berbagai masalah teoretis dari ilmu sejarah ini bemaksud mengatakan hal yang sama juga.  Hanya saja perbedaan waktu –“ masa lalu”— secara simbolis telah dijadikan sebagai perbedaan geografis –“ negeri asing”. Kalau maksud perumpamaan ingin dimaklumi maksudnya jelas juga. Kalau ingin tahu tentang  berbagai tempat tamasya di  “negeri asing” maka cara yang terbaik ialah mengunjunginya, sedangkan kalau ingin tahu tentang berbagai peristiwa penting di masa lalu maka cara yang terbaik tentu saja dengan “mempelajarinya” . Maka pakailah kendaraan yang baik jika hendak bertamasya ke “negeri asing”, supaya perjalanan bisa selamat dan pemandangan indah bisa pula dinikmati. Demikian jugalah halnya kalau ingin mengetahui berbagai kejadian bahkan mungkin pula gejolak dan dinamika sosial di “masa lalu. Janganlah  lupa mempergunakan sistem penelitian akademis  yang sesuai agar dapat memahami dan me-rekonstruksi sumber–sumber otentik yang bisa dipertanggung-jawabkan, meskipun mungkin tertulis dalam bahasa asing. 
            Jika saja perumpamaan ini boleh dilanjutkan sedikit lagi, maka bukankah tidak selamanya “negeri asing” itu terletak nun jauh di sana? Bukankah “negeri asing” itu bisa juga dirasakan sebagai tetangga yang dekat saja?  Bukankah apa yang disebut “masa lalu itu bisa saja dirasakan seakan-akan terjadi baru “kemaren sore” saja betapapun mungkin peristiwa yang menjadi perhatian itu telah terjadi sekian tahun yang lalu. Jadi tidaklah aneh kalau suatu peristiwa yang terjadi di masa lalu – entah telah berapa lama bisa saja sampai kini dirasakan sebagai aktualitas yang masih riil. Memang peristiwa yang meninggalkan dampak yang penting dalam kehidupan seseorang dan apalagi yang telah pula menyentuh keseluruhan sistem kemasyarakatan tidak dengan begitu saja tersingkir ke pinggiran, sebagai sesuatu yang “konon pernah terjadi”.  Bahkan bukanlah pula suatu keanehan kalau keintiman perasaan itu berlangsung terus betapapun rangkaian peristiwa-peristiwa lain telah datang silih berganti dan bahkan telah mungkin pula meninggalkan bekas.
Meskipun setiap peristiwa sejarah pada dasarnya bersifat kemasyarakatan, tetapi  bukankah biasa juga – bahkan teramat biasa --  meninggalkan dampak biografis? Hal ini bisa terjadi meskipun diri sendiri tidak langsung terlibat di dalamnya.  Maka janganlah heran kalau suatu peristiwa yang terjadi di sana di suatu tempat di kejauhan pada saat  yang tidak pula  diketahui,  namun dirasakan sebagai aktualitas biografi diri yang kadang-kadan terasa akrab juga.
            Peritiwa SUPERSEMAR, yang terjadi pada 11 Maret, 1966, di Jakarta adalah sebuah contoh sederhana betapa peristiwa yang terjadi di kejauhan sana bukan saja event yang diketahui tetapi bahkan bisa juga menjadi kenangan biografis pribadi. Hal inilah yang saya rasakan di saat saya mendengar peritiwa itu telah terjadi. Entah karena waktu itu saya sedang jauh di rantau orang, entah karena peristiwa yang terjadi pada tannggal 30 September 1965 sangat membekas dalam ingatan saya. Entahlah.  Di saat peristiwa itu terjadi bahkan juga di saat berbagai corak kejadian politik dan sosiologis sebelum dan sesudahnya saya tetap saja menjalankan kehidupan rutin saya sebagai seorang mahasiswa. Tetapi beberapa minggu kemudian, sebuah peristiwa menyadarkan saya betapa jarak geografis bukan berarti keterpisahan biografis dengan suatu peristiwa yang menggugah kemantapan kesejarahan bangsa.
Begini ceritanya. Di tengah-tengah suasana kesibukan kuliah dan studi perpustakaan tiba-tiba seorang mahasiswa Turki, kenalan baik saya, menegur saya yang sedang makan siang di kampus. Serta merta ia mengatakan hal yang sama sekali tidak saya duga. “Ya, saya tahu para mahasiswa Indonesia sekarang, asyik berdemonstrasi anti-Soekarno, bahkan di kampus ini saya rasakan banyak juga yang anti Soekarno. Tetapi bagi kami Soekarno adalah seorang pahlawan”.  Seketika pernyataan dalam suasana persahabatan ini dikatakannya maka kegundahan dengan begitu saja terasa melanda ketenangan hati saya. Saya diingatkan kembali apa yang telah dikatakan oleh seorang kawan setanah air, yang belajar di kampus yang sama, betapa banyak juga mahasiswa dari Timur Tengah, bahkan juga dari “dunia Islam” umumnya, yang agak kecewa terhadap sikap mahasiswa Indonesia terhadap Soekarno, Presiden Indonesia yang mereka kagumi.
Maka berkecamuklah pertanyaan dalam diri saya. Siapakah Soekarno dalam konteks kekinian? Apakah ia seorang tokoh sejarah yang sebaiknya dilupakan saja? Ataukah ia tetap tokoh “kekinian”-- tetapi siapakah ia yang sesungguhnya?  Apakah ia “seorang pahlawan kebanggaan bangsa asing” ataukah ia sesungguhnya adalah “seorang  pemimpin bangsa yang sedang mengalami penolakan dari generasi muda bangsanya”? Begitulah setelah pertemuan itu pergumulan yang sentimental pun terjadi juga dalam diri saya. Siapakah Soekarno? Apakah arti kehadirannya bagi bangsa yang dicintainya? Apakah ia tetap seorang “ pahlawan bangsa”, yang saya kenal dalam sejarah? Ataukah ia harus saya lihat sebagai seseorang yang kini telah berada dalam kategori mereka yang harus menyingkir dari kehidupan kenegaraan dan bahkan kebangsaan?
            Beberapa bulan telah berlalu. Dari kejauhan geografis dan keterpencilan keriuhan politik nasional, saya tetap  mengikuti gejolak politik yang mungkin akan mengubah arus sejarah bangsa. Sekali peristiwa – ketika makan malam telah selesai dan segala keperluan untuk kembali ke perpustakaan telah tersedia -- saya dengan santai  mengikuti siaran berita televisi. Betapa senangnya perasaan  ketika salah satu berita menampilkan  wawancara seorang wartawan TV –NBC,  dengan Adam Malik, salah seorang “triumvirat” (di samping Soeharto dan Sultan  Hamengkubuwono), yang praktis meskipun bukan secara formil -- telah memimpin pemerintahan. Sang wartawan bertanya apa sebab pak Adam menurut kabar selentingan -- ingin Presiden Soekarno mengundurkan diri, pada hal bukankah sang Presiden sudah tidak “ini” dan tidak pula “begitu“ lagi? Bukankah Soekarno, telah semakin terpencil, meskipun ia secara formal tetap diakui sebagai Presiden yang syah? Agak panjang lebar juga dia menyebutkan proses pelemahanan yang telah terjadi terhadap Soekarno. Jadi untuk apa sang Presiden harus disingkirkan lagi? Apakah jawab pak Adam? Saya ingin sekali mendengar pendapatnya. Bukankah Bung Karno telah berbuat banyak bagi karir politik pak Adam? Bukankah pula —publik politik tahu juga ia adalah pula seorang pengagum Bung Karno? Apakah demi kepentingan politik, ia akan meninggalkan Bung Karno, presiden yang juga telah memajukan karir politik Adam Malik? Ataukah ia akan membela Bung Karno di mata khalayak internasional?  Tetapi dengan santai pak Adam hanya berkata, “ If that is the case, why should he stay?”. Eh, ternyata ia hanya menggoncengi saja pada observasi politik sang wartawan. Ia tidak menjatuhkan Soekarno dan tidak pula membelanya. Adam Malik berhasil membebaskan dirinya dari pilihan dilematis antara kehausan politik dan perasaan pribadi.
            Tiga puluh tahun telah berlalu dan berbagai pengalaman telah sempat pula saya lalui.  Baru satu dua bulan menginjakkan kaki sebagai ilmuwan muda saya telah mendapatkan kesempatan untuk tampil ke publik internasional akademis. Masih umur 30-an saya diangkat sebagai direktur sebuah lembaga penelitian. Tetapi lima tahun kemudian diberhentikan (1978) dan bahkan pengangkatan saya sebagai “ahli peneliti  utama” yang telah ditandatangani Presiden dibatalkan. Akhirnya (1987) saya direhabilitasi, meskipun sempat juga  4-5 kali “diwawancarai” (kata “interogasi” terlalu keras, karena saya diperlakukan dengan ramah)  oleh Kopkamtib.
Pada tahun 1995 Seminar Internasional tentang “ 50 tahun Hari Proklamasi”, yang saya adakan dengan bantuan sebuah yayasan Jepang, diakui sebagai bagian dari acara resmi Peringatan 50 tahun Kemerdekaan. Setahun kemudian panitia yang saya pimpin berhasil menerbitkan laporan seminar dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Maka sayapun menyerahkan kedua versi buku ini  kepada Sekretaris Negara, yang ikut membiayai seminar  ini. Tetapi serenta ia menerima buku-buku itu iapun langsung mengatakan supaya saya menyerahkan kedua versi buku ini pada Presiden Soeharto. Maka salah satu pertemuan yang tidak terlupakan terjadi beberapa hari kemudian.
            Dengan diantar SetNeg, pak Moerdiono, saya datang menemui Pak Harto untuk menyerahkan buku hasil Seminar 50 tahun Proklamasi. Meskipun saya telah pernah juga menghadap pak Harto lagi-lagi karena dibawa pak Moerdiono saya diperkenalkan juga secara resmi kepada pak Harto. Maka dengan sopan sayapun menyerahkan kedua versi buku Revolusi Nasional itu masing-masing dua copies. Dengan senyum pak Harto menerima dan sambil mengisap cerutu ia pun mulai bercerita. Entah ia ingat, entah kebetulan saja, tetapi ceritanya seakan-akan sambungan dari kisah yang telah diceritakannya ketika saya bersama Brig.Jen Syafruddin Bahar dan pak Moerdiono sekian bulan yang lalu. Kedatangan saya dan Syafruddin pada waktu itu ialah untuk menyerahkan buku laporan lengkap sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Maret - 9 Agustus, 1945). Ketika itu sambil merokok cerutu dan mempersilahkan kami makan pisang rebus -- pak Harto  bercerita betapa usulnya agar membubarkan PKI – demi terwujudnya keamanan ditolak mentah-mentah oleh Bung Karno. “Kamu tahu siapa saya? Saya bukan hanya Presiden Indonesia”. Mendengar ucapan itu, kata pak Harto, ia mengatakan bahwa ia bersedia  bertanggungjawab asal saja bapak Presiden memberi izin. Tetapi, kata pak Harto, Presiden Soekarno tetap menolak usulnya untuk membubarkan  PKI,  betapapun ia menyatakan kesediaannya untuk  mempertaruhkan reputasinya sendiri. 
Saya tidak lupa dengan cerita Pak Harto ini. Tetapi  pak  Harto kali ini tidak lagi bercerita tentang  Bung Karno. Ia kini berkisah tentang kejengkelannya pada para tokoh politik yang mengecamnya ketika tindakannya yang pertama setelah menerima SUPERSEMAR itu ialah membubarkan PKI. Saya tidak tahu apakah pak Harto masih ingat bahwa ia telah menceritakan betapa usulnya untuk membubarkan PKI ditolak mentah-mentah oleh Presiden Soekarno. Tetapi kali ini pak Harto seakan-akan ingin meneruskan ceritanya. Ia sadar benar bahwa ia diserang kiri kanan seketika ia menterjemahkan perintah pertama SUPERSEMAR, “selesaikan masalah keamanan” dengan membubarkan PKI dan organisasi pendukungnya dan malah juga menangkap tokoh-tokoh termasuk beberapa orang menteri --  yang dianggap mempunyai hubungan yang dekat dengan PKI. 
“Mereka”, kata pak Harto “tidak berhak  mengecam saya dan apalagi memaki-maki saya. Sudah sejak lama saya mengusulkan supaya PKI dan organisasi-organisasi pendukungnya dibubarkan. Tetapi semua itu dibiarkan saja berlalu, meskipun kericuhan di sana sini terus saja terjadi. Yah, ketika saya mendapat perintah untuk memulihkan keamanan, tentu saja tindakan saya yang pertama ialah membubarkan PKI secara resmi. Saya menilai partai inilah yang menyebabkan segala macam kekacauan yang waktu itu kita alami. Saya membubarkan PKI setelah sekian lama saya berkali-kali mengusulkannya dan bahkan membicarakannya secara terbuka. Pembubaran PKI  bukanlah tindakan spontan yang dijalankan  dengan tiba-tiba”.
   Begitulah peristiwa  SUPERSEMAR -- sejarah yang terjadi “di sana  dan di masa lalu” dalam konteks kenegaraan dan sejarah kontemporer bangsa, telah seakan-akan dengan begitu saja terasa sebagai peristiwa yang terjadi “di sini” dan “di waktu ini”. Bukankah yang berkisah pada saya, seorang warganegara biasa, bukan saja seorang pemain utama dalam drama politik SUPERSEMAR, tetapi adalah pula salah seorang pelaku utama dalam dinamika sejarah modern bangsa yang kebetulan kini sedang menduduki jabatan negara yang tertinggi?  
“SUPERSEMAR” dalam konteks sejarah kontemporer bangsa
                  Perdebatan adalah bagian yang tidak terelakkan dalam kajian sejarah. Jangankan interpretasi tentang “bagaimana “dan “mengapa” suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa terjadi, bahkan kepastian  tentang “apa, siapa, bila , dan di mana” yang merupakan unsur  dan fakta yang esensial dalam kisah sejarah -- terjadinya  perdebatan tentang “kepastian sejarah”  bukankah hal yang aneh. Jangankan tentang peristiwa yang terjadi di kejauhan tempat dan di masa yang telah lama berlalu bahkan juga kejadian yang baru-baru ini saja terjadi di sini perdebatan tentang kebenarannya bisa juga terjadi. Semakin penting arti kehadiran peristiwa itu dalam sistem kesadaran maka semakin mungkin pula terjadi perdebatan tentang tingkat kebenaran dari rekonstruksi kisahnya. Bukankah yang terjadi itu tidak saja apa yang tampil di permukaan dan yang diberitakan secara terbuka tetapi bisa juga apa yang dianggap dan bahkan mungkin yang diyakini berada di belakang layar? Maka bisalah dimaklumi juga  kalau di awal tahun 1950-an jadi kira-kira lima-enam tahun setelah Proklamasi  Kemerdekaan — Bung Hatta, salah seorang Proklamator Kemerdekaan, ketika ia masih menjabat sebagai Wakil Presiden sempat juga merasa perlu menyabar-nyabarkan hatinya ketika ia membaca berbagai tulisan berbagai peristiwa dan kejadian di saat-saat menjelang dikumandangkannya “Proklamasi Kemerdekaan”. Berbagai kisah yang terjadi di belakang layar di sekitar Proklamasi ini, kata Bung Hatta, memperlihatkan betapa mudahnya Dichtung und Wahrheit -- karangan dan kebenaran telah bercampur aduk. Maka iapun – di awal tahun 1950-an itu merasa perlu menulis kenangannya tentang peristiwa yang dialaminya beberapa tahun yang lalu di hari-hari menjelang Proklamasi Kemerdekaan. Karena itu janganlah heran kalau sekian puluh tahun kemudian Bung Hatta (dalam Memoir-nya yang terbit di awal 1970-an,  sempat juga sambil lalu menyentil versi Bung Karno, yang dikisahkan dalam otobiografinya, yang “as told to Cindy Adams” tentang detik-detik menjelang Proklamasi Kemerdekaan. Bukankah Bung Karno menceritakan hal-hal itu ketika ia sedang berada di puncak kekuasaannya -- di saat Wahrheit,   dengan  mudah bisa dikelabui oleh dorongan Dichtung, yang telah dibimbing oleh aroma kekuasaan ?
            Maka mestikah diherankan kalau kepastian historis dari alur kisah terjadinya SUPERSEMAR itu biasa juga diperdebatkan. Berbagai hal yang dikatakan sebagai ‘kejanggalan” pun diungkapkan --  mulai dari kertas yang dipakai untuk menuliskan “perintah Presiden” itu, kesangsian akan kebenaran isi teks  SUPERSEMAR dan bahkan sampai juga pada tuduhan bahwa  ditandatanganinya teks yang berisi perintah Presiden kepada Panglima Angkatan Bersenjata, Letnan Jenderal Soeharto itu terjadi di bawah ancaman senjata. Maka muncullah kisah yang mengatakan bahwa Bung Karno dipaksa di bawah ancaman pistol -- untuk menandatangani “surat perintah” itu oleh  seorang jenderal, yang namanya  cukup terkenal juga. Jadi kalau begitu tidak tiga orang jenderal yang datang ke istana Bogor, tetapi empat orang? Dan sekian banyak tuduhan dan skenario – kejadian yang lain.
            Tetapi adalah sesuatu yang aneh karena semua tuduhan itu tidak mempelajari rentetan pidato Presiden Soekarno yang hampir tanpa henti mengatakan betapa perintahnya telah disalah -gunakan. Dengan kata lain Presiden membenarkan bahwa teks perintahnya itu benar, tetapi diterjemahkan sesuai dengan hasrat politik sang pelaksana tugas. Dalam situasi ini sang Presiden tidak pernah lupa mengingatkan bangsa dan bahkan juga tamu-tamu asing termasuk tamu pribadi yang datang ke rumahnya (seperti Cindy Adams,  yang mengisahkan kemarahan Bung Karno dalam buku yang ditulisnya tak lama kemudian, My friend, the Dictator)  bahwa ia adalah “Presiden dan Perdana Menteri dari Republik Indonesia”. Jadi masalah sesungguhnya adalah perbedaan “tafsiran” pada perintah kepada jenderal Soeharto yang berbunyi ”atas nama Presiden/Panglima  Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi: Pertama, mengambil segala tindakan  yang dianggap  perlu untuk terjaminnya  keamanan dan ketenangan  serta kestabilan jalannya  Revolusi. Kedua, menjamin keselamatan  pribadi dan kewibawaan pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi. Ketiga, melaksanakan  dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi”.
Tetapi seketika Soeharto menterjemahkan perintah pertama ini sesuai dengan pemahamannya tentang sumber sumber perusak keamanan, maka perintah kedua dan ketiga – tentang memelihara ajaran Panglima Besar Revolusi dan keselamatan Presiden dengan begitu saja menjadi problematik. Interpretasi terhadap perintah yang pertama dengan  mudah mengarah pada pelemahan arti perintah kedua dan ketiga. Jadi berarti pelemahan kedudukan Bung Karno sebagai Presiden. Ketika PKI dibubarkan Presiden bukan saja kehilangan pendukungnya yang utama tetapi juga menjadikan konsep NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) sebagai sumber persatuan bangsa menjadi irrelevant.   
             Pada tanggal 12 Maret Soeharto menerjemahkan perintah itu dalam tindakan politik .Atas nama Presiden/Panglima tertinggi ia membubarkan PKI dan anak-anak organisasinya. Bukankah sudah sejak lama ia telah mengatakan bahwa masalah keamanan hanya bisa diselesaikan dengan pembubaran PKI dan organisasi-organisasi pendukungnya? Maka betapapun Dr.Leimena (Wakil Perdana Menteri) mengingatkan Soeharto bahwa bukan perintah Presiden tidaklah bersifat politik, tetapi murni masalah keamanan, tetapi Soeharto tetap bertahan. Bahkan keesokan harinya Soeharto menangkap sekian banyak tokoh termasuk beberapa orang menteri yang dianggap  anggota atau bahkan mungkin dianggap pendukung PKI.
            Begitulah sejak SUPERSEMAR ini dilaksanakan sesuai dengan interpretasi Soeharto sesuai kedudukan Bung Karno pun semakin lama semakin terpencil saja. Apalagi seketika berita pembubaran PKI diketahui maka di waktu itu pula para mahasiswa mengadakan parade besar-besaran mendudukung keputusan itu. Maka dalam perjalanan waktu yang agak singkat juga  MPRS pun akhirnya ikut campur tangan dan – untuk pertama kalinya dalam sejarah meminta Presiden menyampaikan laporan pertanggungan-jawab. Jadi bisalah dipahami juga bahwa ketika pidato pertanggungan-jawabannya, NAWAKSARA, ditolak MPRS dan bahkan demikian pula halnya dengan pidato tambahannya,  nasib Presiden Soekarno pun telah berada di tepi jurang politik yang curam. Akhirnya pada pada tanggal 12 Maret 1967  Soekarno, Presiden/ Panglima Tertinggi  Angkatan Bersenjata, tetapi lebih suka memperkenalkan dirinya Pemimpin Besar Revolusi dan membanggakan dirinya sebagai Penyambung Lidah Rakyat, meletakkan jabatan. Maka Jenderal Soeharto pun diangkat MPRS sebagai Pelaksana Tugas Mandataris MPRS atau lebih praktis disebut saja Pejabat Presiden.
Sejak itu Bung Karno mulai kehilangan kebebasannya. Sementara itu kesehatannya pun semakin merosot juga. Ketika Bung Hatta datang mengunjunginya di rumah sakit, kedua pemimpin besar itu  hanya bisa saling  berteguran  dan berpegangan tangan dengan air mata yang sama-sama mengalir. Dua hari kemudian, pada tanggal 21 Juni, 1970, Soekarno, sang Proklamator  berpulang kerahmatullah. Seketika hal ini diumumkan maka seluruh anak bangsa pun menangisi kepergiannya yang abadi.
      Penutup:  SUPERSEMAR sebuah drama sejarah
Begitulah SUPERSEMAR adalah sebuah drama sejarah yang tidak terlupakan.  SUPERSEMAR adalah pula awal dari episode baru dari sejarah kontemporer bangsa. Setelah SUPERSEMAR ditandatangi Presiden Soekarno di Istana Bogor, maka sejak itu pula sejarah Indonesia mulai memasuki “zaman baru” zaman MANIPOL-USDEK, dengan semangat Revolusi yang tanpa henti dipinggirkan dan zaman “PEMBANGUNAN “ mulai dirintis. Maka  “duka-cerita”, yang dipenuhi oleh kisah tentang ratusan ribu pembunuhan dan penangkapan anak bangsa, karena ideologisasi politik yang kebablasan, menjadi kenangan historis yang pahit. Ternyatalah pula betapa berpolitik dalam suasana “serba revolusioner”, yang dengan ekstrim membedakan “kawan” dan “lawan” bukan saja membawa pada tragedi kemanusiaan tetapi juga rasa dendam yang enggan meredup.  
 Semoga ingatan ini berkisah  dan bahkan mencoba menghibur diri dengan cerita-cerita tentang betapa langkah yang telah mulai diayunkan untuk menuju zaman kemakmuran yang diidam-idamkan bukan saja berhasil “mengubah peta Indonesia”, tetapi secara bertahap mulai kembali memupuk semangat demokrasi dalam realitas kehidupan bangsa.
Maka begitulah ketika waktunya telah datang fajar “reformasi” pun bersinar kembali – bersinar setelah hampir 40 tahun nyaris terkubur dalam nyanyian tradisionalisme yang sedemikian kental dalam semangat “kepribadian nasional” (kata Demokrasi Terpimpin), meskipun “semangat revolusi” dikobarkan. Atau dalam rasa kebanggaan akan “jati diri bangsa” (kata Orde Baru), yang dipakai sebagai landasan ideologis, betapapun “roda pembangunan “ dijalankan dengan penuh gairah.
Maka sebuah pertanyaan tertanyakan juga. Apakah kontradiksi ideologis seperti yang telah dipertunjukkan dengan gaya otoriter oleh kedua regim ini – Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru akan terulang lagi?

Wasallamualaikum Wr. Wb.

Sumber: Arsip KMAPBS/Ir. Agus Riyanto, M.T.